New Year…

2 Jan

New year, more days…

With you

Seharusnya tidak ada yang berbeda di tahun baru saat ini dan tahun baru di tahun kemarin. Toh, sudah ada kamu di akhir tahunku di tahun yang lalu. Musim hujan yang sama. Kadang gerimis, kadang hujan deras, kadang hanya mendung keperakan yang mewarnai hari-hari kita.

Tidak ada yang berbeda…

Yang berbeda hanyalah kamu sudah masuk terlalu jauh kesini…

 

 Ke hatiku 

Penghujung Tahun

30 Dec

Penghujung tahun.

Hari-hari ini rasanya waktu berjalan seperti udara yang berdesak-desakan memenuhi ruang kosong. Seperti sesak yang berlomba-lomba mencari jeda di sela-sela jendela agar dapat terbang bebas ke angkasa. Dan kemudian orang-orang seperti berlomba merampungkan detik demi detik yang mereka miliki di tahun ini. Namun, bukankah terasa sangat lelah berkejaran dengan waktu?

Supaya saya tidak lupa. Ini semacam pengingat saja.

Untuk 1 tahun Masehi yang hampir berlalu. Terima kasih Tuhan…

Paling tidak, kita tahu pasti, sejak tahun ini memulai perjalanannya akan ada banyak hal yang berubah. Akan ada ruang-ruang kosong yang terisi dengan banyak cerita. Akan ada banyak pintu yang terbuka satu per satu. Tapi sering luput, satu tahun ini semacam berkah dari Tuhan. Mungkin semacam pesan, kira-kira berbunyi seperti ini ”Dunia itu indah, maka jelajahilah detik demi detik waktumu dengan tersenyum.

Saya sering lupa, ketika misalnya hujan turun, saya bersorak untuk air yang turun dari langit, tapi juga tak pernah alpa merutuk bercak-bercak kecoklatan yang membekas di celana karena tanah yang basah. Atau ketika panas matahari menyengat, berapa banyak umpatan yang saya keluarkan hari itu. Seperti dengan sendirinya memanaskan hati yang seharusnya tetap dingin…

Supaya saya tidak lupa. Ini semacam pengingat saja.

Untuk 1 tahun Masehi yang hampir berlalu. Terima kasih Tuhan…

Paling tidak, semua yang berganti telah ditapaki entah dengan perlahan atau dengan terburu, dengan rute yang lurus atau berkelok, sudah sepantasnya saya berterima kasih pada Tuhan.

Untuk tawa, air mata, senyuman, keringat… terima kasih Tuhan.

 

PS. Tak ada doa awal tahun. Karena Tuhan saya yang baik mengizinkan saya berdoa sepanjang tahun… 😉

 

Amin…

20 Nov

Lantas bagaimana kalau aku terluka besok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan… di masa depan?

Ah, lalu kenapa? Bukankah ada kamu?

Sang penyekat, agar yang terluka tak luber kemana-mana.

 

Kali ini aku yang bertanya :

Nanti masih ada kamu kan? Yang bersedia meredam tangis-ku, hingga nanti aku mampu menyemai tawa…

Ah, tapi yang seperti sekarang ini saja sudah cukup. Kamu duduk manis di sampingku. Sambil saling mendoakan di penghujung malam. Yang terbaik katamu…

Amin…

Kenang yang Meng-kristal

19 Nov

Pantas saja masih terasa gelisah disini. Kalau tidak bisa dibilang sesak yang seperti menghimpit. Yang seperti memeras satu persatu bulir air agar keluar dari pelupuk mata.

Tapi katanya, ia telah menjelma menjadi sosok yang kuat sekarang. Maka meski gelisah, meski sesak, meski pedih, ia tak lagi akan menangis. Itu semacam janji pada dirinya sendiri.

Namun ternyata ini bukan tentang menjadi lebih kuat. Bukan pula tentang air mata yang diharapkan tak kembali terjatuh. Ini tentang memaafkan. Memaafkan dirinya sendiri dan juga sebait kenangan dalam memorinya. Maka, meski ia merasa telah menjejak pada yang nyata, tak lagi bergantung pada labirin kenangan yang berputar-putar, ia masih saja seperti terjebak, tanpa jalan keluar.

Ini hujan kesekian. Hujan yang tak lagi kurindukan…” Ia menyeruput coklat hangatnya hingga tetes terakhir, merapikan buku yang masih separuh lagi harus dibacanya dan kemudian pergi meninggalkan kedai di sudut jalan itu. Kali ini ia membiarkan hujan yang telah berubah menjadi gerimis menyapa perlahan tubuhnya. Ia berjalan pelan, pulang…

*****

Aku pikir ia telah menjadi kenangan yang benar-benar hanya sekedar untuk dikenang…” Ia terdiam sejenak setelah mengucapkan kalimat-kalimat tersebut. Beberapa detik kemudian ia tersenyum pada lawan bicaranya: Tuhan, yang meski tak tampak secara kasat mata ia percayai bahwa akan selalu mendengarnya.

Dan entah mengapa tengah malam itu, ia menangis tersedu-sedu, melanggar janji yang dibuatnya sendiri. Karena sesak yang berlipat-lipat. Sesak yang tak dapat ia kenali alasannya, dan sesak penyesalan. Mengapa air mata itu keluar untuk luka lama yang seharusnya telah sembuh, justru disaat ia sedang berbicara dengan Sang Pencipta. Justru disaat ia seharusnya tersungkur penuh penyesalan karena khilafnya pada Sang Pencipta… Yang selalu menyayanginya setiap putaran detik.

*****

Dan di luar, Tuhan menghujani-nya dengan kasih sayang. Ia temani tangisnya malam itu dengan bulir-bulir air dari langit. Meredam isaknya, agar tak pecah dan sampai pada yang lain. Agar tangisan yang telah lama mengkristal itu dapat cair tanpa ada yang tahu.

 

Biar hanya ia dan Tuhannya yang tahu…

 


Permohonan Maaf untuk MU

18 Nov

Sudah berapa lama sejak aku menggerakkan jemari ini untuk menyapa Mu di dunia maya?

Aku pun hampir lupa. Seperti sudah terlalu lama…

Tapi, Engkau tahu kan Tuhan?! Aku mencintai Mu. Meski dengan semua khilafku…

 

Aku yang merindukan Mu dengan sesak, karena belakangan seperti gagal mengurai jarak untuk mendekati Mu…

Menjaring Rindu

4 Oct

Untuk sejenak aku pikir kita sedang jatuh terlalu dalam, hingga tak ada lagi hal yang kita hiraukan. Seperti misalnya aku rela membangun jembatan antar galaksi agar kamu tetap berada dalam jangkauanku. Agar kamu masih saja dapat terus terhubung denganku. Agar tak ada lagi jarak diantara kita.

Aku pikir, semua itu dilakukan atas nama rasa yang entah mengapa telah menjelma menjadi semacam otomatisasi. Bayangkanlah, jika di pagi hari dalam sepersekian detik saat aku menyadari aku telah kembali dari dunia mimpi, sinaps-sinaps di otakku bekerja begitu cepatnya untuk menghantarkan sebuah informasi tentang kamu. Iya, tentang kamu. Aneh bukan? Betapa duniaku kini seperti selalu saja hendak melukis tentang kehadiranmu.

Dan aku akan meniti setiap jengkal waktu sepanjang hari mengendus rindu kepada kamu. Hingga pada akhirnya berharap di penghujung hari rindu ini akan mencair oleh bayanganmu yang mengendap mendekat perlahan bersama senja.

Aku cukup memeluk satu asa. Jangan berakhir! Bagiku itu sudah cukup. Meski dengan itu, aku berulang kali harus meretas rindu yang kadang jika sedang tak dapat ditemui penawarnya akan meninggalkan kesakitan yang begitu dalam. Aku rela, karena bukankah rindu itu pada dasarnya adalah sebuah kesakitan yang membuat ketagihan?!

Dan asal kamu tahu, rinduku tak mengenal kata basi.
Dalam jarak, rinduku tumpah berharap tak ada sekat penghalang menuju dirimu.
Dan saat dekat, rinduku membuncah mengkhianati logika…

Kepada kamu yang kurindukan : Sampai berjumpa lagi di bibir senja!

Episode Bintang #1

23 Sep

Pada mulanya aku pikir kita sedang berbagi ruang. Karena katamu galaksi ini terlalu luas untuk didiami sendirian. Tapi lalu kamu menggelengkan kepala.

Kita sedang mengarunginya dalam biduk yang sama. Berpindah dari satu konstelasi bintang ke konstelasi lain, menyusuri setiap jengkal galaksi bersama-sama.

Dan jangan tanya kita akan berakhir dimana.

Mengejar Bahagia

14 Sep

Mereka bilang surga kecil itu bernama kampung halaman…

****

Ramadhan tahun ini telah berakhir, momen yang sama seperti bertahun-tahun lalu, diakhiri dengan hari kemenangan, yang seperti kebanyakan orang Indonesia menyebutnya sebagai lebaran. Saya mungkin seharusnya tidak menyebut lebaran sebagai sebuah pengakhiran, tapi justru awalan. Dengan menyelipkan banyak doa bagi keyakinan diri, agar menjadi lebih baik lagi di bulan-bulan selanjutnya.

Momen yang tidak berubah untuk menyambut lebaran, paling tidak di Indonesia, barangkali adalah mudik, pulang ke kampung halaman. Ini seperti menjadi keharusan bagi banyak orang. Berbagi bahagia dengan keluarga terdekat ataupun dengan keluarga besar yang bahkan mungkin sudah terasa kabur asal usul silsilahnya.

Saya percaya, esensi mudik lebih kepada mengejar dan berbagi bahagia. Orang menjadi rela berdesak-desakan di dalam kereta untuk bertemu dengan orang-orang yang mereka kasihi setelah berbulan-bulan terpisah oleh jarak. Tapi kemarin, saya mulai kembali mempertanyakan apa itu bahagia? Bahagia macam apa yang coba mereka kejar saat pulang ke kampung halaman?

Saya barangkali cukup beruntung, bisa pulang ke kampung halaman orang tua tanpa harus bersusah payah. Tidak seperti keluarga kecil ini yang harus pulang kampung dengan mengendarai sepeda motor. Anak mereka yang masih berusia sekitar satu tahun berada di gendongan sang ibu. Miris rasanya melihat balita-balita tersebut harus berjuang melawan udara panas dan rasa lelah karena harus menjalani beratus-ratus kilometer di atas sepeda motor. Saya percaya, orang tua mereka juga pasti tidak pernah sampai hati membiarkan tubuh-tubuh kecil itu harus menderita kelelahan dan juga kepanasan. Tapi mereka pasti akan berkata ”Apa mau dikata, uang tak lagi mencukupi untuk mudik dengan nyaman tanpa harus mengendarai sepeda motor.”

Tapi bukankah pada dasarnya yang kau inginkan adalah menyajikan bahagia bagi anak istrimu? Agar mereka dapat tersenyum di hari Lebaran? Lalu apa jadinya jika kau justru membahayakan keselamatan mereka. Seperti yang saya lihat malam kemarin. Satu keluarga kecil itu terjatuh dari sepeda motor, sang ibu tergeletak tak sadarkan diri, sementara balitanya menangis dalam pelukannya. Pria itu, sudah hampir pasti adalah sang kepala keluarga, panik mencoba membangunkan istrinya. Tapi istrinya bergeming, sementara anaknya masih saja terus menangis. Panik, sedih, kaget… Wajah pria itu memucat.

Lalu, kalau sudah seperti itu, kamu bisa apa? Bukankah seharusnya yang seperti ini masih bisa dicegah? Bukankah bahagia lebaran-mu masih dapat dikejar tanpa harus membahayakan orang-orang yang kamu kasihi? Lalu jika sudah seperti ini, apa bahagia lebaran hanya dapat ditebus dengan pulang ke kampung halaman? Bukankah pulang ke kampung halaman tidak pernah menjadi suatu keharusan?

Seperti misalnya dengan kau kirimkan doa pada keluargamu di kampung sana, sembari bersabar hingga kau bisa menebus rasa rindumu nanti, jika tabunganmu sudah mencukupi….

Mengubur Jam Pasir

28 Aug


Kamu adalah doa-doa panjang yang kurapalkan setiap malam. Yang menjelma senyuman saat pagi tiba.

—–

Mereka bilang hatiku terkulai, menjadi lemah saat menatap setiap jengkal tubuhmu dari ujung atas hingga ujung bawah. Yang tidak mereka tahu, aku justru sedang menabur bahagia. Tentang pertemuan diam-diam kita saat malam tiba. Tentang goresan rangkaian kata yang terselip dalam surat-surat tak bernama. Tentang kunjunganmu dalam mimpi-mimpiku kala terlelap. Tentang igauanku yang membisikkan namamu.

Yang menjadi rahasia agar penjelmaan tentang ‘kita’ tak dikoyak oleh tangan-tangan para tuan.

—–

Jika aku sedang menunggumu di luar jendela, angin malam akan memungut daun-daun kecoklatan untuk dibawanya terbang. Agar menemaninya bergemerisik di sela-sela pepohonan. Sementara itu, aku sendiri akan mengkristalkan bayang-bayang tentang dirimu. Membuatnya semakin tajam. Hingga tiba saatnya kau menampakkan diri dari balik jendela. Seperti berpendar-pendar.

—–

Dan seketika raihan tanganmu memaksaku memperlebar langkah untuk berlari menjauhi jendela. Padahal saat itu aku masih didekap rasa takjub karena memandangmu, masih melayang. Masih berusaha menemukan jalan pulang ke dunia nyata.

Kemudian kita akan tertawa kecil, sembari sesekali menoleh ke belakang. Berharap tak pernah tergelincir dan pecah terserak.

Puncaknya, kita akan menghilang dalam hutan. Hingga yang lain menjadi gaib, dan hanya kita yang nyata.

—–

Bintang memulas banyak asa malam ini, saat tangan kita terpaut semakin erat. Rasanya kita seperti membuat jejak jejak cinta dalam konstelasi bintang, yang jika kita rindukan dapat dengan mudah ditelusuri kembali. Tengadahkan kepalamu pada langit malam, dan lihatlah bintang-bintang itu berkelip. Itulah jejak kita.

Kamu tahu? Kita mungkin sedang jatuh cinta. Maka ijinkan aku mengubur jam pasir agar waktu berhenti sejenak untuk kita. Demi kita…

ps. terinspirasi cerita Romeo & Juliet

ps lagi. mencoba diikutsertakan dalam ceritaeka


Ternyata…

18 Aug

Ternyata meninggalkan blog ini rasanya seperti diterpa gersang. Seperti musafir yang merindukan oase di padang pasir. Pantulan kristal air dan hijau daun yang begitu dirindukan…

Jelas, saya rindu menulis di blog ini. Pernah hingga seperti sakau. Tapi saya selalu saja meyakinkan diri, kemarin ini bukan waktu yang tepat untuk kembali menulis, masih banyak hal yang lebih penting yang harus saya lakukan. Alasan klise. Sibuk. Atau mungkin sebut saja menyibukkan diri. HA!

Dan saya kembali sekarang.

Selamat datang kembali di blog saya yangseringterbengkalai ini. Selamat menikmati sepiring kata-kata, dan mungkin dengan sedikit bumbu-bumbu makna di dalamnya.

Yah, apapun… mari menulis!